Senin, 16 Mei 2016

Review The Divergent Series: Allegiant



The Hunger Games, The Divergent, Maze Runner dan kawan-kawannya, ya, ada begitu banyak adaptasi sci-fi young adult berseliweran di layar lebar akhir-akhir ini dengan kandungan tema dan cerita yang beda-beda tipis satu sama lain.

 Cerita tentang sosok muda terpilih penyelamat umat manusia dari kehancuran dengan set dunia distopia dan segala variasinya dari pemerintahan otoriter, pembagian kelompok manusia sampai penggunaan labirin raksasa untuk mencari manusia-manusia terpilih, tetapi sekali lagi, mereka semua sama saja.

Untuk kasus The Divergent mungkin ia adalah yang paling lemah dari tiga franchise besar YA di atas, ia tidak punya maze raksasa yang mengerikan, ia tidak punya Jennifer Lawrence yang memesona, ya, tidak ada sesuatu yang spesial sebenarnya di cerita The Divergent yang sampai-sampai memaksa otak tua saya bekerja lebih keras untuk mengingat apa yang terjadi di seri sebelumnya: Insurgent.


Dalam Allegiant, Tris (Shailene Woodley), kekasihnya Four (Theo James) dan kawan-kawannya untuk pertama kalinya berhasil melewati tembok besar yang mengurung Chicago. Di luar sana ia menemukan kehancuran luar biasa akibat perang masa lalu dan juga kejutan besar berupa komunitas berteknologi canggih yang mengawasi setiap pergerakannya. 

Dari sini Tris harus dihadapi dengan pilihan sulit untuk berpihak kepada siapa? Apakah kelompok pemberontak di dalam tembok pimpinan Evelyn Johnson-Eaton (Naomi Watts) atau faksi luar tembok yang punya agenda tersembunyi tersendiri.

“Saya enjoy kok nontonnya” Kata penonton yang mengaku tidak mengikuti novelnya, khususnya novel ketiga The Divergent ini. Buat saya susah untuk menikmati Allegiant, sekedar informasi saya juga bukan pembaca novel Veronica Roth ini. Allegiant bisa dibilang adalah seri terburuk dari saga YA yang sebenarnya juga tidak pernah bagus-bagus amat dari kemunculan pertamanya 2014 silam. 

Ya, harus diakui secara skala, Allegiant jauh lebih besar dari dua pendahulunya, dengan set dunia lebih besar dan lebih banyak manusia yang terlibat. Tetapi lebih besar bukan berarti lebih baik. Allegiant menderita banyak di narasinya yang kacau balau, berantakan atau apalah istilah lain yang bisa kamu berikan. 

Komentar dari penonton yang sudah membaca novelnya mengatakan bahwa narasi Allegiant versi live action itu ‘lancang’, ia seperti mencoba berjalan sendiri dengan banyak melakukan modifikasi cerita sana-sini yang sayangnya tidak digarap matang, efeknya malah membuat narasi dua seri pertamanya seperti menjadi bagian yang tidak nyambung. 

Belum lagi saya menyebut beberapa kebodohan sana-sini seperti salah satu yang paling kelihatan adalah beberapa keputusan Tris yang konyol ketika selalu melibatkan karakter Peter Hayes-nya Miles Teller yang sudah terbukti bolak-balik menusuk dari belakang atau menaruh kepercayaan berlebih kepada David yang jelas-jelas adalah bad guy, saya masih belum menyebut drama cinta antara Tris dan Four (Theo James ) yang….ah, sudahlah……

Tentu saja dengan skala lebih besar ada rentetan aksi yang lebih besar pula di Allegiant bersama segala kosmetik CGI-nya, masalahnya seberapa besar usaha sutradara Robert Schwentke untuk memaksimalkan tensinya, sektor ini juga berakhir sama payahnya dengan kualitas cerita dan karakternya, sama-sama tidak menarik dan kacau, meski harus diakui kali ini ada lebih banyak teknologi canggih baru yang belum pernah ada di seri-seri sebelumnya tetapi lagi-lagi semua terlihat palsu dan plastik, coba saja lihat gelembung kuning itu, meh!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons